on the side-lines wishes

07.03


Aku keluar dari taman kacang merah,, aku memasuki bukit paling putih,, putih menenangkan,, seperti ketika kau bisa menggenggam bunga edelwise. Disekelilingmu hanya ada pohon cemara berselimut salju, dingin mengelilingi segala pandangan. Aku melangkah setapak demi setapan dengan sepatu karetku, aku tidak merasa kedinginan, aku begitu menikmati lukisan Tuhan yang satu ini. Aku mulai mengumpulkan ranting-ranting cemara sebagai tempat bertahan, mengumpulkan setiap ranting dari satu sisi ke sisi lainnya. Berjalan bersama harapan. Dalam ukuran waktu aku berhasil membangun rumah kayuku, aku tinggal disana sesuai batas yang ditentukan Tuhan. Hingga suatu saat  kwaci (biji bunga matahari) mendatangiku.
“Powerberry aku ingin bisa membuat rumah kayu sepertimu,, aku terlalu lama menahan kedinginan”
“Bisa saja kwaci, asal kau bertekun dalam membangun,, tapi kenapa kau ingin membangun rumah kayu,, bukankah kamu sudah mempunyai rumah keramik yang jauh lebih bagus dari ini,,”
“rumah keramik itu milik matahari,, aku ingin mandiri”

Catatan Tuhan tidak pernah aku mengerti, kenapa kwaci dalam waktu sepersekian detik bisa meninggalkan musim panasnya dijepang hanya untuk membangun rumah kayu di bukit salju. Kwaci memiliki matahari, tapi cita-citanya tidak bergantung pada kemekarnya matahari. Dalam hatinya matahari adalah urutan kedua setelah Tuhan. Kwaci membangun rumah kayu hanya untuk meyakinkan matahari, bahwa senyuman matahari lebih dari sekedar musim panas, senyuman matahari tidak akan berhenti seiring berakhirnya musim, matahari akan tetap tersenyum, karena kwaci mempunyai rumah kayu disini, bukit salju.
Kami berdua seperti sepasang sepatu, melangkah kemanapun bersama untuk mengumpulkan kayu-kayu yang lebih kuat lagi, kayu-kayu untuk rumah kayu yang lebih kokoh, kayu-kayu yang akan membuat matahari tersenyum lebih indah lagi. Sepatu dan kayu-kayu. Kami berjalan sangat jauh, mempelajari segala jenis kayu untuk menopang hidup kami, hingga suatu saat rumah kayu kami begitu indah dan angin jahat menghancurkannya dalam waktu sehari. Apa yang kami lakukan ketika rumah kayu kami menyatu dengan tanah? Kami duduk memegang sisa kayu, tersenyum, dan bersyukur. Kami mengumpulkan kayu lagi, membangun lagi, dan kami telah terbiasa dengan kedatangan angin jahat. Bahkan untuk setiap angin jahat yang meredupkan semangat. Kami belajar bahwa hidup hanya untuk bersyukur, bersyukur atas setiap karya Tuhan.
Dalam hari yang tak terhitung, angin begitu sangat jahat. Rumah kayu kami roboh dalam tidur kami. Aku membuka mata, termenung dan menangis. Tapi kwaci mengajariku cara menangis  tanpa air mata. Dia terbangun menemaniku disisiku. Dia membersihkan sisa-sisa debu kayu dimukaku. Dia berdiri, tanpa sepatah kata, dia tersenyum, berlari mengumpulkan kayu-kayu lagi tanpa memintaku membantunya. Dia mengumpulkan banyak sekali kayu, dia membangun terus membangun hanya untuk mempertahankan senyum matahari dan membuatku bangga. Dia terus membangun karena dengan membangun dia bisa mendefinisikan arti kasih sayang, syukur, dan kekuatan jiwa bisa mengalahkan dinginnya angin salju tanpa kata-kata. Sejak hari itu kami berdua tersenyum, selalu tersenyum, terimakasih kwaci kecilku.
“Apakah dingin hanya bisa dilawan dengan rumah kayu powerberry?”
“Aku tidak tahu kwaci,, aku rasa Tuhan selalu punya banyak jalan,,”
Malam itu kami berdua melihat bintang. Mempelajari setiap rasi bintang. Menghubungkan satu bintang ke bintang lainnya. Kami menggambar sebuah perahu selam. Perahu kayu selam.
                “Apa yang terjadi ketika kita bisa menyebrangi lautan batu salju powerberry?”
                “kita bisa melewati dingin dengan cara Tuhan yang lain”
                “bagaimana agar kita bisa melewatinya”
                “kita buat perahu kayu selam”
                “ya kita akan membuatnya”
                “dengan penuh semangat”

Cita-cita baru terukir dalam hari-hari kami. Kami mencatat setiap jejak perjuangan perubahan nasib kami. Kami mempelajari perbedaan jenis kayu, ranting, daun. Kami belajar dengan seluruh jiwa kami. Hingga kami bertemu dengan “anggrek ungu” ditengah hutan cemara. Kami bertanya-tanya, mengapa ada anggrek yang bertahan dengan sangat cantik dalam dinginnya hutan cemara. Anggrek itu cantik, bertahan dari dingin dalam tenang. Aku berfikir, apakah anggrek setenang itu pernah bermimpi melawan dingin? Anggrek ungu mematuhi segala aturan alam, bersama aturan alam dia tenang dan bertahan. Dia mengetahui dengan detail segala aturan, setiap kejadian yang membuatnya bertahan. Kami belajar darinya bagaimana mengerti alam. Yaitu pahamilah alam, maka alam akan memahamimu. Karena anggrek ungu, kami benar-benar mengetahui setiap detail perbedaan kayu satu dengan kayu lainnya, ranting satu dengan ranting lainnya, mana yang lebih kuat diantaranya. Kami merangkai sketsa perahu kayu selam dalam beberapa waktu, bersama-sama.
Kami berhasil menggoreskan beberapa sketsa keajaiban Tuhan. Kami kembali kepohon kayu, dengan anggrek ungu tentunya. Kami ingin membuatnya tersenyum tanpa dingin dalam waktu yang dapat kami berikan. Pohon cemara terakhir telah kami lewati, tibalah kami dirumah kayu kami. Kami heran mengapa ada dua rumah kayu disini. Kami mendekati rumah asing yang sengaja dibangun berdekatan dengan rumah kayu kami. Kami melihat “tembakau” didalamnya. Tembakau yang selalu membuat dunia tersenyum, tembakau yang selalu siap dibakar untuk kebahagiaan orang lain, tembakau yang siap mendengarkan dunia. Tembakau adalah cermin dari “attitude is a little thing,, that makes a big different”. Pertanyaan utama dalam diriku “bukankah kau bisa dengan mudah melewati dingin dengan segala anugrah Tuhan yang diberikan padamu? Sama seperti tanaman-tanaman beruntung lainnya,, bahkan kau dianggap tinggi oleh dunia,, kenapa memilih rumah kayu untuk melawan dingin?”. Tanpa sepatah kata yang keluar dan segala tindakan yang dia kerjakan, aku mengerti jawabanya.
Tembakau membantu kami merangkai perahu kayu selam. Dia terus mempelajari setiap sketsa yang tertulis. Bertekun menyambungkan ranting satu ke ranting lainnya, daun satu kedaun lainnya. Hingga sketsa bukanlah sekedar sketsa, sketsa yang tergambar benar-benar dapat kami lihat. Kami melihat dari segala sudut harapan. Perahu kapal selam sempurna, hanya butuh api kasih sayang, api kasih sayang yang akan menguatkan kita dari segala gelombang, api kasih sayang yang akan membuat setiap dari kita tersenyum dalam segala kepahitan yang mungkin tergoreskan, api kasih sayang yang akan membuat kita tidak lupa apa arti semangat dan kehidupan. Aku berdiam melihat bayanganku ditepi lautan batu salju, “peri kecil bisakah kau keluar dari kerajaanmu didasar samudra? Peri kecil pernahkah kau mempunyai mimpi melawan dinginnya samudra bersamaku? Peri kecil maukah kau berjuang bersamaku sekali lagi dengan seluruh api kasih sayang yang dapat kau nyalakan?” aku kembali kepohon kayu, dan Tuhan mengizinkan peri kecil ada disampingku sekali lagi.
                Sekarang kami berlima tepat di tepi lautan batu salju dengan perahu kami. Kami menatap luas kedepan, menunggu izin Tuhan untuk mengarunginya dalam do’a.
Terimakasih kwaci, anggrek ungu, tembakau, dan peri kecil atas segala kasih sayang dalam pembuatan perahu kapal selam :”)




You Might Also Like

2 komentar