my personal life

today

05.20



aku ingin belajar menangis tanpa air mata,,
perasan perasaan-perasaan yang lembap,,
aku percaya ada perihal semacam itu,,
peri yang memperindah hal-hal perih,,
batu yang bertahan di alir air sungai,,
atau badai yang lembut,,
- mam


sastra uchi

sometimes

05.07


“kamu kenapa suntuk sekali?”
“ci menurutmu bagaimana kalau aku putus”
“kenapa bertanya seperti itu?,, yakin akan meninggalkan wanita sebaik itu?”
“aku engga tahan ci,, terlalu keras kepala”
“keras kepala mengakhiri semua yang selama ini kalian bangun bersama?”
.........hening.........
“hmm kamu engga biasanya kayak gini,, coba kamu ingat-ingat lagi perjuangan kamu buat ngedapetin dia”
........hening..........
“coba kamu ingat-ingat lagi cita-cita kalian berdua saat bersama-sama,, bagaimana kalian bisa masak bareng-bareng”
........hening..........
“kamu engga naksir cewe lainkan?”
........hening...........
“heyy,, kamu engga sedang jatuh cinta sama cewe lainkan?”
“engga ci,, kenapa bertanya seperti itu?”
“apa alasan seorang pria meninggalkan wanita yang sempurna,, kecuali ada alasan yang tak terdefinisikan,, seperti jatuh cinta pada waktu yang tidak dapat disimpulkan”
“aku engga jatuh cinta ci,, aku hanya tidak bisa bertahan dengan sifat keras kepalanya”
“bukan bertahan didalam kekeras kepalaan,, memang semua orang bisa menemanimu,, tapi yang bertahan karena kamu? Gak semuanya bisa,, coba kasih dia bunga ketika kalian ada dimusim salju,, dia begitu menyayangimu”
“ga bisa ci,, ga sanggup,,”
“kalau diteruskan apa konsenkuensinya?”
seperti ada di taman bunga, tetapi aku tidak pernah ada di sana”
Aku menarik nafas dengan sangat panjang,,
“Okee,, silahkan putus tapi mintalah izin kepada ibumu terlebih dahulu,, jadikan ini dosa terakhirmu,, jangan sakiti perempuan lainnya,, setelah ini pilihlah semua hal dengan sangat bijaksana,, cewe paling menyebalkan sekalipun punya hati,, perasaan
“udah minta izin ci”
“ha? Apa katanya?”
“beliau menyerahkan keputusan terbaik ada ditanganku”
--------hening---------
“kenapa diam?”
“heran aja,, ternyata pria ramah, sopan, dan baik seperti kamu bisa lemah cuma gara-gara cewe? Haha pertama kalinya aku melihat yang seperti itu”
“kamu pernah pacaran gak sih ci?”
“engga”
-------hening---------------

    Seperti kabut datang dan menghilang memperindah hujan, muncul singkat menggantikan pelangi. Aku kembali pulang menelusuri pohon-pohonku. Pohon-pohon yang tak pernah meminta di lewati namun tetap tersenyum. Dalam setiap langkah aku memikirkan setiap kata-kata tembakau, sahabatku. Pertama kalinya aku melihatnya serapuh itu. Rapuh dalam kesetiaan budi pekerti dan perasaan, rapuh dalam kebahagiaan orang lain dan ketenangan hatinya,, rapuh melawan dunia untuk kebebasan dirinya, berperang dalam kerapuhan,, berperang melawan dirinya,, dan dia memenangkan perang kerapuhan itu,, dia benar-benar bisa berjalan dengan keputusan hatinya,, walau mungkin dunia akan membakarnya. Hah, itulah pelajaran yang kudapatkan. Sekarang aku mengerti perbedaan wanita dan pria,, harusnya teori pria mengambil keputusan menggunakan logika dan wanita menggunakan perasaan itu di hapuskan,, karena pada dasarnya pria dan wanita sama-sama mempunyai logika dan perasaan,, hanya saja pria menggunakan logika dan perasaannya atas dasar “suara hatinya” sementara wanita? Kebanyakan wanita menggunakan logika dan perasaannya untuk memikirkan “suara hati orang lain”,, right? sometimes true.

Aku suka berada di puncak gunung dan di dasar samudra,, karena disana aku tidak mendengarkan perkataan mereka – (df, 2012)




my personal life

write write write!

04.22


hari ini aku menemukan alasan mengapa kata "semangat" harus ada dalam kamus hidup kita
karena semester 6 kita akan sama-sama menulis X)
SEMANGAT, BERSIAP TAHUN DEPAN MENERIAKAN
"ALHAMDULLILAH KITA SKRIPSI DAPAT A"




my personal life

management moody

22.21

hari ini aku tidak dapat mengimaginasikan apa yang ku rasakan,,
aku tidak dapat merasakan senang ataupun sedih,,

"mimpi segelap apapun selalu memiliki sebatang bulpen"- mam





sastra uchi

on the side-lines wishes

07.03


Aku keluar dari taman kacang merah,, aku memasuki bukit paling putih,, putih menenangkan,, seperti ketika kau bisa menggenggam bunga edelwise. Disekelilingmu hanya ada pohon cemara berselimut salju, dingin mengelilingi segala pandangan. Aku melangkah setapak demi setapan dengan sepatu karetku, aku tidak merasa kedinginan, aku begitu menikmati lukisan Tuhan yang satu ini. Aku mulai mengumpulkan ranting-ranting cemara sebagai tempat bertahan, mengumpulkan setiap ranting dari satu sisi ke sisi lainnya. Berjalan bersama harapan. Dalam ukuran waktu aku berhasil membangun rumah kayuku, aku tinggal disana sesuai batas yang ditentukan Tuhan. Hingga suatu saat  kwaci (biji bunga matahari) mendatangiku.
“Powerberry aku ingin bisa membuat rumah kayu sepertimu,, aku terlalu lama menahan kedinginan”
“Bisa saja kwaci, asal kau bertekun dalam membangun,, tapi kenapa kau ingin membangun rumah kayu,, bukankah kamu sudah mempunyai rumah keramik yang jauh lebih bagus dari ini,,”
“rumah keramik itu milik matahari,, aku ingin mandiri”

Catatan Tuhan tidak pernah aku mengerti, kenapa kwaci dalam waktu sepersekian detik bisa meninggalkan musim panasnya dijepang hanya untuk membangun rumah kayu di bukit salju. Kwaci memiliki matahari, tapi cita-citanya tidak bergantung pada kemekarnya matahari. Dalam hatinya matahari adalah urutan kedua setelah Tuhan. Kwaci membangun rumah kayu hanya untuk meyakinkan matahari, bahwa senyuman matahari lebih dari sekedar musim panas, senyuman matahari tidak akan berhenti seiring berakhirnya musim, matahari akan tetap tersenyum, karena kwaci mempunyai rumah kayu disini, bukit salju.
Kami berdua seperti sepasang sepatu, melangkah kemanapun bersama untuk mengumpulkan kayu-kayu yang lebih kuat lagi, kayu-kayu untuk rumah kayu yang lebih kokoh, kayu-kayu yang akan membuat matahari tersenyum lebih indah lagi. Sepatu dan kayu-kayu. Kami berjalan sangat jauh, mempelajari segala jenis kayu untuk menopang hidup kami, hingga suatu saat rumah kayu kami begitu indah dan angin jahat menghancurkannya dalam waktu sehari. Apa yang kami lakukan ketika rumah kayu kami menyatu dengan tanah? Kami duduk memegang sisa kayu, tersenyum, dan bersyukur. Kami mengumpulkan kayu lagi, membangun lagi, dan kami telah terbiasa dengan kedatangan angin jahat. Bahkan untuk setiap angin jahat yang meredupkan semangat. Kami belajar bahwa hidup hanya untuk bersyukur, bersyukur atas setiap karya Tuhan.
Dalam hari yang tak terhitung, angin begitu sangat jahat. Rumah kayu kami roboh dalam tidur kami. Aku membuka mata, termenung dan menangis. Tapi kwaci mengajariku cara menangis  tanpa air mata. Dia terbangun menemaniku disisiku. Dia membersihkan sisa-sisa debu kayu dimukaku. Dia berdiri, tanpa sepatah kata, dia tersenyum, berlari mengumpulkan kayu-kayu lagi tanpa memintaku membantunya. Dia mengumpulkan banyak sekali kayu, dia membangun terus membangun hanya untuk mempertahankan senyum matahari dan membuatku bangga. Dia terus membangun karena dengan membangun dia bisa mendefinisikan arti kasih sayang, syukur, dan kekuatan jiwa bisa mengalahkan dinginnya angin salju tanpa kata-kata. Sejak hari itu kami berdua tersenyum, selalu tersenyum, terimakasih kwaci kecilku.
“Apakah dingin hanya bisa dilawan dengan rumah kayu powerberry?”
“Aku tidak tahu kwaci,, aku rasa Tuhan selalu punya banyak jalan,,”
Malam itu kami berdua melihat bintang. Mempelajari setiap rasi bintang. Menghubungkan satu bintang ke bintang lainnya. Kami menggambar sebuah perahu selam. Perahu kayu selam.
                “Apa yang terjadi ketika kita bisa menyebrangi lautan batu salju powerberry?”
                “kita bisa melewati dingin dengan cara Tuhan yang lain”
                “bagaimana agar kita bisa melewatinya”
                “kita buat perahu kayu selam”
                “ya kita akan membuatnya”
                “dengan penuh semangat”

Cita-cita baru terukir dalam hari-hari kami. Kami mencatat setiap jejak perjuangan perubahan nasib kami. Kami mempelajari perbedaan jenis kayu, ranting, daun. Kami belajar dengan seluruh jiwa kami. Hingga kami bertemu dengan “anggrek ungu” ditengah hutan cemara. Kami bertanya-tanya, mengapa ada anggrek yang bertahan dengan sangat cantik dalam dinginnya hutan cemara. Anggrek itu cantik, bertahan dari dingin dalam tenang. Aku berfikir, apakah anggrek setenang itu pernah bermimpi melawan dingin? Anggrek ungu mematuhi segala aturan alam, bersama aturan alam dia tenang dan bertahan. Dia mengetahui dengan detail segala aturan, setiap kejadian yang membuatnya bertahan. Kami belajar darinya bagaimana mengerti alam. Yaitu pahamilah alam, maka alam akan memahamimu. Karena anggrek ungu, kami benar-benar mengetahui setiap detail perbedaan kayu satu dengan kayu lainnya, ranting satu dengan ranting lainnya, mana yang lebih kuat diantaranya. Kami merangkai sketsa perahu kayu selam dalam beberapa waktu, bersama-sama.
Kami berhasil menggoreskan beberapa sketsa keajaiban Tuhan. Kami kembali kepohon kayu, dengan anggrek ungu tentunya. Kami ingin membuatnya tersenyum tanpa dingin dalam waktu yang dapat kami berikan. Pohon cemara terakhir telah kami lewati, tibalah kami dirumah kayu kami. Kami heran mengapa ada dua rumah kayu disini. Kami mendekati rumah asing yang sengaja dibangun berdekatan dengan rumah kayu kami. Kami melihat “tembakau” didalamnya. Tembakau yang selalu membuat dunia tersenyum, tembakau yang selalu siap dibakar untuk kebahagiaan orang lain, tembakau yang siap mendengarkan dunia. Tembakau adalah cermin dari “attitude is a little thing,, that makes a big different”. Pertanyaan utama dalam diriku “bukankah kau bisa dengan mudah melewati dingin dengan segala anugrah Tuhan yang diberikan padamu? Sama seperti tanaman-tanaman beruntung lainnya,, bahkan kau dianggap tinggi oleh dunia,, kenapa memilih rumah kayu untuk melawan dingin?”. Tanpa sepatah kata yang keluar dan segala tindakan yang dia kerjakan, aku mengerti jawabanya.
Tembakau membantu kami merangkai perahu kayu selam. Dia terus mempelajari setiap sketsa yang tertulis. Bertekun menyambungkan ranting satu ke ranting lainnya, daun satu kedaun lainnya. Hingga sketsa bukanlah sekedar sketsa, sketsa yang tergambar benar-benar dapat kami lihat. Kami melihat dari segala sudut harapan. Perahu kapal selam sempurna, hanya butuh api kasih sayang, api kasih sayang yang akan menguatkan kita dari segala gelombang, api kasih sayang yang akan membuat setiap dari kita tersenyum dalam segala kepahitan yang mungkin tergoreskan, api kasih sayang yang akan membuat kita tidak lupa apa arti semangat dan kehidupan. Aku berdiam melihat bayanganku ditepi lautan batu salju, “peri kecil bisakah kau keluar dari kerajaanmu didasar samudra? Peri kecil pernahkah kau mempunyai mimpi melawan dinginnya samudra bersamaku? Peri kecil maukah kau berjuang bersamaku sekali lagi dengan seluruh api kasih sayang yang dapat kau nyalakan?” aku kembali kepohon kayu, dan Tuhan mengizinkan peri kecil ada disampingku sekali lagi.
                Sekarang kami berlima tepat di tepi lautan batu salju dengan perahu kami. Kami menatap luas kedepan, menunggu izin Tuhan untuk mengarunginya dalam do’a.
Terimakasih kwaci, anggrek ungu, tembakau, dan peri kecil atas segala kasih sayang dalam pembuatan perahu kapal selam :”)